Selasa, 09 Februari 2010

kerajaan di jawa


Demak

Monday, March 09 2009 @ 10:16 AM CDT

Contributed by: Admin

Views: 572

Seorang Bupati putra dari Brawijaya yang beragama Islam disekitar tahun 1500 bernama raden Patah/Jin Bun/R. Bintoro dan berkedudukan di Demak, secara terbuka memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas bantuan daerah-daerah lain yang telah Islam (seperti Gresik, Tuban dan Jepara), ia mendirikan kerajaan Islam yang berpusat di Demak. Putra lainnya bernama Bondan Kejawan/Lembupeteng di Tarub mengawini Rr. Nawangsih (anak dari hasil perkawinan antara Joko Tarub dan Rr. Nawangwulan) mempunyai cucu dari anaknya bernama Kyai Ageng Getas/R. Depok di Pandowo, yaitu Kyai Ageng Selo/Bagus Songgom/Risang Sutowijoyo/Syeih Abdurrahman.

Putra lain dari Brawijaya yang bernama Lembupeteng juga berkedudukan di Gilimangdangin/Sampang, mempunyai cucu buyut bernama raden Praseno yang menjadi adipati Sampang, berjuluk Cakraningrat I, yang mana putranya yang bernama pangeran Undakan menggantikannya dan bergelar cakraningrat II, sedang putra yang satunya lagi mempunyai anak yaitu Trunojoyo.

Sedang putri dari Brawijaya yaitu Ratu Pambayun yang kawin dengan Pn. Dayaningrat mempunyai 2 (dua) anak bernama Kebokanigoro dan Kebokenongo/Ki Ageng Pengging yang menjadi teman dekat seorang wali kontraversial yaitu Syeh Siti Jenar.

Ia akhirnya juga mampu meruntuhkan Majapahit dan sebagai raja Islam pertama bergelar Sultan Demak ia mencapai kejayaan, tapi sebagai lambang dari tetap berlangsungnya kerajaan kesatuan Majapahit dalam bentuk baru, semua alat upacara dan pusaka dibawa ke Demak. Ia wafat di tahun 1518 dan digantikan oleh putranya bernama Pati Unus atau pangeran Sabrang Lor bergelar Sultan Demak yang hanya 3 tahun memerintah karena meninggal. Lalu ia digantikan saudaranya yaitu pangeran Trenggono bergelar Sultan Demak yang memerintah sampai tahun 1548. Dalam memerintah Trenggono mampu memperluas kerajaan sampai di daerah Pase Sumatra Utara yang dikuasai Portugis, dimana seorang ulama dari Pase bernama Fatahillah menyeberang ke Demak dan dikawinkan dengan adik raja. Karena Fatahillah, maka Demak berhasil merebut tempat-tempat perdagangan kerajaan Pajajaran di Jawa Barat yang belum Islam, yaitu Cirebon dan Banten (akhirnya diserahkan Fatahillah oleh Demak).

Di tahun 1522 orang Portugis datang ke Sunda Kalapa (Jakarta sekarang) bekerja sama dengan raja Pajajaran menghadapi Islam, dimana Portugis diijinkan mendirikan benteng di Sunda Kalapa itu. Lalu di tahun 1527 orang Portugis datang kembali dimana Sunda Kalapa sudah berubah nama menjadi Jayakarta, dibawah kekuasaan Fatahillah yang tinggal di Banten, sehingga Portugis kalah perang dan meninggalkan daerah tersebut. Sedangkan Trenggono sendiri walau berhasil menalukkan Mataram dan Singhasari, tapi daerah Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali yang tetap Hindu, yang mana di tahun 1548 ia wafat akibat perang dengan Pasuruan.

Kematian Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang. Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul kekacauan dimana-mana. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari adipati japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya menentang Arya Panangsang, yang salah satu dari adipati itu bernama Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono.

Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak. Namun menginformasikan kerajaan Demak, kurang komplit kalau belum menceritakan tentang kedatangan Islam di Jawa dan keberadaan Wali Sanga saat berkuasanya Demak.

Kedatangan Islam ke Jawa

Di Gresik (daerah Leran) ditemukan batu bertahun 1082 Masehi berhuruf Arab yang menceritakan bahwa telah meninggal seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang beragama Islam. Lalu disekitar tahun 1350 saat memuncaknya kebesaran Majapahit, di pelabuhan Tuban dan Gresik banyak kedatangan para pedagang Islam dari India dan dari kerajaan Samudra (Aceh Utara) yang juga awalnya merupakan bagian dari Majapahit, disamping para pedagang Majapahit yang berdagang ke Samudra. Juga menurut cerita, ada seorang putri Islam berjuluk Putri Cempa dan Putri Cina yang menjadi isteri salah satu raja Majapahit.

Sangat toleransinya Majapahit terhadap Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat kerajaan Demak.

Kasultanan Yogyakarta

Monday, March 09 2009 @ 10:39 AM CDT

Contributed by: Admin

Views: 406

Sampai daerah divisi disetujui dalam Perundingan Gijanti, kerajaan Mataram yang didirikan Pangeran Senopati pada tahun 1587, merupakan kekuatan yang dominan di Jawa Tengah. Kerajaan Mataram berpindah lokasi beberapa kali selama pemerintahan Senopati dan keturunannya, dan pada tahun 1745 berada di Surakarta (Solo)

Sebagai kelanjutan dari pertikaian yang terjadi di antara pemerintah Surakarta, Pakubuwono III dan paman tirinya, Pangeran Mangkubumi, pemerintah Belanda menengahi dengan menyetujui perjanjian yang isinya mengangkat Mangkubumi sebagai pemimpin kerajaan terpisah, tetapi memiliki kekuasaan yang sama, yang berpusat di Yogyakarta. Mangkubumi, yang memakai gelar Hamengkubuwono I, pada tahun 1756, membangun istana yang besar bernama Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kraton berada di lokasi yang sangat luas, yang karena luasnya dapat digambarkan sebagai kota tertutup. Selain ada bnagunan di dalamnya, daerah ini dikelilingi oleh dinding yang kokoh seperti benteng dan dibangun pada tahun 1785, untuk daerah yang tertutup tersebut dibangun tempat para pegawai kerajaan, abdi dalem, para keluarga bangsawan lainnya yang kurang terkenal di lingkungan kraton. Tempat ini sekarang terdiri atas desa-desa di dalam kraton tempat berpangkalnya seniman dalam gang-gang sempit yang berprofesi sebagai pembuat batik dan pelukis.

Kraton terdiri atas beberapa bangunan, dinding, da taman, yang tersusun dari utara ke selatan dan mempunyai alun-alun di kedua akhir bangunan. Pendopo utama dan ruang singasana, bangsal kencono, yang terletak di tengah kraton, mempunyai atap joglo, yang disangga oleh tiang berukir. Di belakang Pendopo terdapat Bangsal Proboyekso tempat disimpannya benda pusaka kraton. Di seberang Bnagsal Proboyekso terdapat tempat keluarga kerajaan, yang didiami oleh Sultan yang sekarang. Tempat ini tertutup untuk umum. Kesantrian, tempat tinggal pangeran pangeran yang belum menikah, terletak di bangunan yang laus di belakang kandang kuda.

Di belas tempat kereta kraton, yang terletak di pinggir taman utama, terdapat koleksi kereta-kereta kerajaan dan kendaraan lain yang ditarik kuda, termasuk kereta jenasah kerajaan yang terbuat dari kaca. Koleksi peralatan kerajaan yang lengkap dan benda-benda kraton, yang terdapat di Musium Sono Budoyo di sudut barat laut dari alun-alun utara, dibangun pada tahun 1935 oleh Hamengkubuwono VIII. Di bagian barat alun-alun terdapat Mesjid Ageng, yang dibangun pada tahun 1773.

Di taman utama kraton terdapat pasir hitam dari pantai selatan Jawa, yang dotaruh untuk menghormati Nyai Loro Kidul, Raty Laut Selatan, yang izinnya dianggap prasyarat untuk membangun kraton. Hubungan dengan Nyai Loro Kidul ini terlihat lebih jelas di bangunan Taman Sari, yang dibangun oleh Hamengkubuwono I sebagai taman yang nyaman untuk tempat beristirahat.

Taman Sari adalah taman yang sangat luar biasa menariknya, terdiri dari beberapa kolam renang yang merupakan jalan menuju terowongan bawah tanah yang diatasnya tersdedia tempat untuk berjalan kaki. Sebagian lokasi ini telah diperbaiki, tetapi tanpa diisi. Dahulunya taman ini mempunyai kebun-kebun dengan bunga-bunga wangi, beberapa air mancur, dan bunga yang terdapat di jambangan besar yang terbuat dari batu. Taman Sari, selain dibuat untuk tempat beristirahat, dan tempat Sultan bercengkrama dengan istri atau selirnya, juga dibuat sebagai tempat di mana setiap tahun digunakan untuk memperbaharui mandatnya dalam menjalankan pemerintahannya, yaitu dengan cara melakukan hubungan perkawinan secara mistik dengan Nyai Loro Kidul. Ruang tempat pertemuan ini dilakukan masih dapat dilihat, tetapi karena percaya adanya kekuatan spiritual, tempat ini dilarang difoto.

Kraton Yogyakarta sangat luas dan banyak hal yang menarik, tetapi jika semua diuraikan secara menyeluruh dibutuhkan buku yang sangat tebal. Sangat beruntung kraton mempunyai sistem organisasi yang baik sehingga pemandunya dapat memberikan penjelasan dalam beberapa bahasa yang sangat informatif mengenai perkembangan sejarah kraton secara lengkap baik mengenai masalah arsitektur maupun mengenai isinya.

Kraton Yogyakarta adalah bangunan yang bukan saja terbesar dari empat istana yang berada di Jawa Tengah, tetapi juga yang terkaya dalam hal materi maupun kebudayaan. Karena peranan yang penting dari Hamengkubuwono IX dalam perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia, sejak tahun 1945 Kraton Yogyakarta mendapat status kehormatan. Oleh karena itu, kota tempat sendirinya kraton ini disebut Daerah Istimewa Yogyakarta. Kehidupan di dalam kraton masih berlanjut terus sejak beberapa rarus tahun silam. Ditempat ini hampir ribuan pegawai istana masih melayani segala sesuatu yang diperlukan oleh rumah tangga kerajaan.

Pakualaman

Monday, March 09 2009 @ 10:36 AM CDT

Contributed by: Admin

Views: 292

Merupakan yang termuda dari keempat kraton yang berada di Jawa Tengah. Seperti halnya dengan sub wilayah Mangkunegaran di Solo, yang didirikan oleh dinasti Paku Buwono yang lebih muda, Pakualaman adalah kerajaan terpisah didalam kerajaan Yogyakarta.

Walaupun terpisah dan merdeka mereka tetap mengakui kesenioran kraton Yogyakarta Hadiningrat. Pemerintah kolonial Inggris banyak berperan dalam membangun Puro Pakualaman ini. Masa pemerintahan Inggris yang singkat di Hindia Belanda (1811-1815) terjadi pada saat anti kedatangan penhjajah di kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Dengan harapan akan kekuatan kraton Surakarta melemah gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles, menggunakan kesempatan untuk turut campur dalam pertikaian yang berkepanjangan antara Hamengkubueono II, pimpinan gerakan anti kolonial dan anaknya Hamengkubuwono III.

Raffles kemudian menyerang kraton Yogyakarta, dan atan bantuan paman Sultan Pangeran Nata Kusuma menyingkirkan Hamengkubuwono II dan mengangkat Hamengkubuwono III. Atas bantuan Pangeran Nata Kusuma serta untuk mengurangi kekuatan Yogyakarta maka pada tahun 1813, Raffles membuat pemerinahan kedua di Yogyakarta dengan mengangkat Pangeran Nata Kusuma sebagai kepala pemerintahan Sri Paduka Paku Alam I. Paku Alam I membangun pusat pemerintahan tidak jauh disebelah timur kraton Yogyakarta (seperti halnya Pura Mangunegaran diSolo). Paku Alam menghadap ke selatan ini melambangkan penghormatannya terhadap kraton Yogyakarta.

Seperti kraton lainnya Pura Paku Alam memiliki kompleks yang dikelilingi oleh tembok yang tinggi dan kokoh. Pemerintah Inggris, selain memberi daerah kraton dan tanah sekitarnya, juga memberi bantuan keuangan setiap bulannya untuk keperluan perajurit Paku Alam I, yang berada di bawah kekuasaan Inggris. Tempat pelatihan perajurit (alun-alun) terletak diluar tembok kraton dan terbuka ke jalan umum. Sebelum menjadi Paku Alam I Pangeran Nata Kusuma sangat tekun mempelajari kebudayaan dan kesustraan jawa sehingga dia disebut sebagai peletak dasar kebudayaan di kraton Yogyakarta.

Beliau juga mempelajari polotik dan hukum suatu negara kerajaan. Ketika mepmimpin pemerinahan sendiri, beliau mempelopori pengembangan kultur, dan memberi sendiri pelajaran ilmu pengetahuan dan tata negara keapa pangeran dan raja. Beliau juga mendatangkan guru-guru pelajaran agama dan kesustraan dan tertarik mendukung kebudayaan dan kesenian sebagai landasan dasar untuk menunjang pengembangan Pakualaman dalam hal perayaan dan pertunjukan kesenian terutama di bidang seni tari. Pura Pakualaman sekarang didiami oleh Paku Alam VIII, terbagi menjadi tiga bagian dengan tata letak yang berderetan. Bagian pertama terdiri atas pendopo atau Bnagsal Sewotomo, taman bagian luar, dan kantor adminstrasi, yang terbuka untuk umum.

Disebelah kanan pendopo terdapat paviliun unik , yang diatara ujung atapnya berdinding dengan bentuk segitiga berhiaskan ukiran kayu yang detil, berbentuk rumah musim panas Eropa, dan dikelilingi taman yang indah. Di tempat bekas penyimpanan kereta, yaitu dekat gerbang utama kraton, terdapat museum kecil yang berisi seragam militer lama, kostum tari, wayang, gamelan, dan gambar tokoh-tokoh Pakualaman sebelumnya. Diruang terpisah terdapat kereta-kereta kerajaan, termasuk sebuah kereta yang baru-baru ini direnovasi.

Hal lain yang perlu ditambahkan adalah adanya tradisi pemberian nama tempat dan nama orang dalam masyarakat Jawa. Nama-nama tempat/kampung dan nama orang di Surakarta juga dipengaruhi tradisi ini.

Tradisi pemberian nama pada setiap masyarakat bangsa tidak mesti sama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan budayanya. Orang Indian menggunakan tradisi Totemisme, orang Cina menggunakan tradisi She, dan sebagainya. Pada orang Jawa, tradisi pemberian nama agak unik. Apabila kata bin atau binti menunjukkan tradisi Islam bila bin atau ibn menunjukkan keturunan laki-laki, maka binti adalah untuk anak perempuan. Di beberapa suku bangsa sering menggunakan nama marga untuk menunjukkan keluarga besar, Klan atau sukunya. Misalnya marga Harahap, Sihombing, Nainggolan dan sebagainya dan biasanya digunakan oleh beberapa suku bangsa di Sumatera Barat dan Tengah. Fungsi marga ini sama seperti She dalam tradisi Cina

Pada tradisi pemberian nama orang Jawa sepanjang sejarahnya hampir selalu mengalami perkembangan akibat budaya dan monesisnya dari jamannya.

Pada masa Jawa Hindu, yaitu masa antara abad ke 5 – 11 pengaruh Hinduisme masih sangat kuat. Maka nama-nama yang dipakai bernafaskan keagamaan Hindu. Bahkan ada unsur awatara ( penitisan atau inkarnasi ) masuk ke dalam pemberian nama tersebut. Hingga hal ini memudahkan bagi kita untuk menetapkan yang bersangkutan itu menganut agama apa. Namun demikian, akibat kurangnya data sejarah, kita sangat sulit untuk dapat menemukan nama masa kanak-kanak ( nama pribadi ). Nama-nama yang kita peroleh dari sumber sejarah yang kita temukan berupa prasasti, merupakan nama ketika berkuasa ( period name ) atau mungkin bahkan nama Prabasuyasa atau percandian ( temple name ). Hanya pada masa awal Mataram Hindu, nama-nama yang kita temukan kelihatannya seperti nama pribadi, bukan nama jabatan ( sebagai penguasa ) misalnya : Purnawarman, Sanjaya, Sanaha, Pancapana, Warak, Garung, Pikatan dan sebagainya yang semuanya berciri nama pribadi.

Selanjutnya kita temukan nama Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu atau Rakai Watukura Ishwara Kesawasawatungga ( Samarattungga ) yang bernafaskan Syiwaisme adalah nama untuk raja Balitung dari Kerajaan mataram Hindu. Sesudah masa Balitung ini, maka nama raja-raja biasanya menggunakan nama ketika memerintah ( period name ) serta nama percandiannya ( temple name ) Misalnya : Dakshatama Bahubraja Pratipakshaya untuk raja Daksa, juga bernafaskan Syiwaisme. Pangganti Raja Daksa ialah Rakai Layang Dyah Tulodong Shri Sajjanasanmaturaga Tunggadewa untuk raja Tulodong, dan Rakai Pangkaya Dyah Wawa Shri Wijayalokanamatungga untuk raja Wawa. Nama-nama tersebut merupakan nama percandian ( temple name )

Selanjutnya pada masa Jawa Timur, terutama pada masa Medang Kahuripan dan Kediri mulai terjadi sedikit perubahan. Pada masa ini sifat Hinduisme sudah agak berkurang dan mengarah ke Hindu Jawa. Sifat kewisnuan nampak kuat disamping unsur Asli mulai muncul. Latar belakang pemakaian nama Dewa (Iswara, Vajra, Ishana, Dewa, Lokeswara, Uttunggadewa, dan sebagainya) menunjukkan masih kuatnya pengaruh ajaran inkarnasi dalam Hinduisme. Peristiwa demikian ini terjadi lagi pada masa Islam yang dengan menggunakan nama-nama seprti Muhammad, Fatahillah, Abdul Mufakir, Yusuf dan sebagainya menunjukkan nafas keislaman.

Masa Medang Kahuripan maupun Kediri masih nampak adanya pengaruh inkarnasi tersebut. Ternyata di dalam gelar berikut: Sri Dharmawangsateguh Anantawikramatunggadewa untuk raja Dharmawangsa Teguh, Rakai Halu Shri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa untuk raja Airlangga. Kemudian muncul sebutan digdaya, bhuwana, bumi, menunjukkan gaya kejayaan. Misalnya; Shri Maharaja Rake Sirikan, Shri Kameswara Sakalabhuwana Mustikarana Sarwaniwaryawirya Parakrama Didayutunggadewa untuk Raja Kameswara II, Sang Mahapanji Jayabaya Sri Dharmeswara Madusudanawatara-ninditha Suhersinga untuk Raja Jayabaya, dan sebagainya. Disamping itu muncul nama Juru Dyah dan Prasanta (Jodeh dan Santa); Sabda Palon dan Naja Genggong; Si Dudul dan Si Dulet; Dora dan Sembada; Duduga dan Prayoga adalah nama-nama Abdi kinasih raja atau pangeran yang menjadi tokoh utama dalam suatu cerita. Juga nama-nama berlatar belakang Totemisme, ialah suatu kepercayaan asli dengan menggunakan nama-nama hewan atau keadaan alam, seperti: Lembu Amilihur, Lembu Amisani, Lembu ampal, Lembu Tal, Gajah Mada, Gajah Enggon, Kebo Ijo Kebo Nabrang, Kebo Tengah, Kudamerta, Kuda Waneng Pati, Kuda Lalayean, Candrakirana, Sekartaji, Hayam Wuruk, Kencana Wungu, Damarwulan, Minakjingga, dan lain-lain yang berkembang pada masa Kediri, Singasari dan Majapahit. Bersamaan dengan itu munculpula nama-nama Jawa: Tohjaya, Kertanagara, Ranggalawe, Sora, Nambi, Semi, Kuti, Jayanegara dan lain-lain.

Perkembangan selanjutnya mengarah kepada pola Kejawaan dan Jawa. Nama pribadi atau nama kanak-kanak mulai kita kenal. Mungkin nama kanak-kanak ini sejak semula memang sudah ada, hanya kita yang kekurangan data. Akhirnya yang sudah ketahui sekarang adalah kanak-kanak dan nama keluarga, nama panggilan, nama paraban, nama jabatan, serta nama babtis.

Ada beberapa dasar tradisi pemberian nama itu.

1. Dasar situasi dan kondisi lingkungan sekitar: Sela, Wanasaba, Wonogiri, Semarang, Karangbolong, Dalemreja, Sala, Jurang Jero, Ledhok, Tegal Kuniran dan sebagainya.

2. Dasar harapan masa depan yang gemilang: Wnakerta, Kartasura, Surakarta, Ngayogyakarta, Umbulreja, Sala, Jurong Jero, Ledhok, Tegal Kuniran dan sebagainya.

3. Dasar penguasa atau orang terhormat di tempat itu: Singasaren, Jayanegaran, Danukusuman, Pringgalayan, Purwapuran, Purwaprajan, Cakranegaran, Wiragunan, Purwadiningrat, Yudanegaran, Reksoniten dan sebagainya.

4. Dasar kelompok Abdi Dalem di tempat itu: Gandekan Kiwa/Tengen, Mertolulutan, Singanegaran, Miji Pinilihan, Saragenen, Jayatakan, Brajanalan, Kabangan, Jagalan, Gajahan, Kepunton, Tamtaman, dan sebagainya.

Nama dan toponimi berhubungan erat. Dasar inilah yang digunakan Purbacaraka untuk menentukan letak Bekasi atas dasar Prasasti Tugu.

Selanjutnya tentang ada beberapa pengertian: “Toponimy is the study of toponimis” (Random House Dictionary, 1968: 1386). M.J. Koenens (1938 – 1038) mengatakan bahwa toponimi adalah pengetahuan tentang nama-nama (plastsnamen kunde). Arti dari kedua pendapat tersebut antara lain ialah ilmu yang bergerak dalam pengetahuan tentangpenelitian nama-nama tempat. Dari kedua pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa dengan pengetahuan toponimi kita dapat menentukan atau menunjukkan nama-nama atas tempat-tempat tertentu dan akhirnya dapat kita tentukan peta geografisnya. Dengan toponimi pula kita dapat menentukan pola-pola berpikir dan merasa diri penduduk di suatu tempat atau lokal atau daerah tertentu pula pada suatu waktu. Bahkan nama suatu tempat, desa atau kota saja dibuatkan suatu cerita untuk mengesahkan tentang nama tempat, desa atau kota tersebut. Beberapa contoh dapat untuk menunjukkan pola berpikir masyarakat suatu daerah.

1. Nama Banyuwangi, terjadi dari suatu cerita seorang bangsawan yang membunuh istrinya yang tidak bersalah. Sebelum meninggal istrinya, berkata “Apabila air sungai ini berbau wangi (harum) pertanda bahwa saya tidak bersalahi. Demikianlah benar-benar air sungai itu berbau harum, dan bangsawan itu berteriak ‘Banyuwangi’ yang akhirnya menjadi nama kota di Jawa Timur itu.

2. Semarang, terjadi karena di situ dahulu menjadi pusat penimbunan buah asam (asem) dan arang (Asem) dan arang menjadi Asemarang-Semarang).

3. Boyolali berhubungan dengan cerita Kyai Ageng Pandanarang (Sunan Tembayat) dalam perjalanannya dari Semarang akan berzirah ke makam di Jabalkat (Tembayat). Dalam cerita tersebut muncul nama-nama: Gombel, Srondol, Ungaran, Salatiga, Boyolali, Teras, Majasanga, Banyudana, dan sebagainya.

4. Begitu pula tentang nama-nama Tangkuban Perahu, Tegal Arum, Weleri, Kali Wungu, Dieng (Dihyang), Magelang, Banyumas, dan sebagainya.

Sehubungan dengan uraian ini, kata Surakarta adalah nama sebuah kota di daerah Jawa Tengah Selatan yang dijadikan pusat kerajaan Mataram akhir dan Kasunanan Surakarta. Kata Surakarta sendiri mempunyai beberapa nama:

1. Bagi seorang seniman, nama kata ini disebutkan Kota Bengawan seperti halnya kota Gudeg untuk Yogyakarta; Kota Kembang untuk Bandung, Kota Perjuangan untuk Surabaya dan lain-lain.

2. Masyarakat pedesaan menyebutnya Nagari, sebab mengingat sejarahnya, kota ini dahulu menjadi pusat pemerintahan (Kutha Negara Kerajaan, pusat kedudukan Raja.

3. Secara tradisional, kota ini disebut Kutha Sala, di mana Kutha berarti tempat yang dikelilingi tembok tinggi (kutha negara). Disamping itu, penyebutan tersebut menunjukkan kesederhanaan berpikir, sikap dan pandangan hidup orang Jawa. Ucapan Wong Sala lebih dikenal daripada Wong Surakarta, seperti halnya Wong Majapahit, Wong Blambangan, dan sebagainya.

4. Para wisatawan lebih senang menyebutnya Kota Solo, seperti lagu ciptaan Gesang, yaitu Bengawan Solo, karena dinilai sebagai pusat budaya Jawa dengan sifat khas budaya kejawen.

5. Secara administratif pemerintah (resmi) dan dalam sumber-sumber resmi tertulis, disebut kota Surakarta atau Surakarta Hadiningrat.

Demikian uniknya Wong Sala atau Wong Jawa dalam soal nama.Pembahasan terhadap tradisi pemberian nama baik orang maupun tempat akan mengangkat usaha

Perang Bubat

Monday, March 09 2009 @ 10:20 AM CDT

Contributed by: Admin

Views: 630

(Menurut Kidung Sundayana)

Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca dalam Negarakertagama.

Makmur negaranya, kondang kemana-mana. Namun sang raja belum kawin rupanya. Mengapa demikian ? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri. Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana.

Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh Nusantara sujud di hadapannya. Tetapi engkau satu, jiwanya yang senantiasa menjerit meminta pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah Pitaloka Citrasemi.

Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.

Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri tersebut akan “dihadiahkan” kepada sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda, putri tersebut akan “di pinang” oleh sang raja. Dalam dialog antara utusan dari kerajaan Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu peperangan besar antara keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka oleh karena bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian inti Kidung Sindanglaya ini.

Selain sebagai negarawan, Gajah mada terkenal pula sebagai ahli hukum. Kitab hukum yang ia susun sebagai dasar hukum di Majapahit adalah Kutaramanawa, berdasarkan kitab hukum Kutarasastra (lebih tua) dan kitab hukum Hindu Manawasastra, serta disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku. Gajah Mada meninggal tahun 1364, dan digantikan oleh 4 (empat) orang menteri yang berfungsi untuk mengekalkan negara serta lebih ditujukan kepada kemakmuran rakyat dan keamanan daerah. Beberapa hasil karya semasa Hayam Wuruk lainnya antara lain:

Pemeliharaan tempat-tempat penyeberangan melintasi sungai-sungan Solo dan Brantas;

Perbaikan bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri);

Memperindah Candi untuk Tribhuwanottunggadewi di Panggih;

Perbaikan dan perluasan tempat suci Palah (Panataran);

Penyempurnaan Candi Jabung dekat Kraksaan (1354);

Membuat Candi Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365);

Membuat Candi Pari (dekat Porong) bercorak dari Campa di tahun 1371;

Kitab Nagarakrtagama yang merupakan kitab sejarah Singhasari dan Majapahit, dihimpun oleh mpu Prapanca di tahun 1365;

Cerita-cerita Arjunawijaya dan Sutasoma oleh Tantular;

Habisnya riwayat Sriwijaya di tahun 1377, yang dibinasakan oleh Majapahit.

Hayam Wuruk wafat tahun 1369, yang diperkirakan dimuliakan di Tayung (daerah Brebek Kediri), yang digantikan oleh keponakannya, Wikramawardhana, suami dari anak perempuannya, Kusumawarddhani. Sedangkan anak Hayam Wuruk dari isteri bukan permaisuri, Bhre Wirabhumi, diberi pemerintahan di ujung Jawa Timur.

Wikramawardhana (1369-1428) dan Wirabhumi di tahun 1401-1406 berperang, yang dikenal dengan nama perang Paregreg, dimana Wirabhumi terbunuh. Disini Tiongkok mengetahui bahwa perang saudara itu melemahkan Majapahit, sehingga segera berusaha memikat daerah-daerah luar Jawa untuk mengakui kedaulatannya. Misalnya Kalimantan Barat yang dalam tahun 1368 telah diganggu oleh bajak laut dari Sulu sebagai alat dari Kaisar Tiongkok, sejak tahun 1405 tunduk kepada Tiongkok. Juga Palembang dan Malayu di tahun yang sama, mengarahkan pandangannya ke Tiongkok dengan tidak menghiraukan Majapahit. Malaka sebagai pelabuhan dan kota dagang penting yang beragama Islam (1400), juga dianggap majapahit sudah hilang. Demikian daerah-daerah lainnya, dan ada juga yang masih mengaku Majapahit sebagai atasannya tetapi dalam prakteknya tidak banyak hubungan dengan pusat. Sehingga saat Wikramawardhana meninggal di tahun 1428, kerajaan Majapahit yang besar dan bersatu sudah tidak ada lagi. Ada cerita menarik tentang keadaan kota Majapahit dan rakyatnya, dari uraian Ma Huan yang asli dari Tiongkok dan beragama Islam dalam bukunya Ying-yai Sheng-lan, yang ditulis saat mengiringi Cheng-Ho (utusan kaisar Tiongkok ke Jawa) dalam perjalananya yang ketiga ke daerah-daerah lautan selatan, antara lain :

Kota Majapahit dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata;

Penduduknya kira-kira 300.000 keluarga;

Rakyat memakai kain dan baju;

Untuk laki-laki mulai usia 3 tahun memakai keris yang hulunya indah sekali dan terbuat dari emas, cula badak atau gading;

Para pria jika bertengkar dalam waktu singkat siap dengan kerisnya;

Biasa memakan sirih;

Para pria pada setiap perayaan mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu;

Senang bermain bersama diwaktu terang bulan dengan diserai nyanyian-nyanyian berkelompok dan bergiliran antara golongan wanita dan pria;

Senang nonton wayang beber (wayang yang setiap adegan ceritanya di gambar di atas sehelai kain, lalu dibentangkan antara dua bilah kayu, yang jalan ceritanya diuraikan oleh Dalang);

Penduduk terdiri dari 3 (tiga) golongan, orang-orang Islam yang datang dari barat dan memperoleh penghidupan di ibukota, orang-orang Tionghoa yang banyak pula beragama Islam, dan rakyat selebihnya yang menyembah berhala dan tinggal bersama anjing mereka.

Setelah wafatnya Wikramawardhana di tahun 1429 sampai sekitar 1522 tidak banyak diketahui tentang Majapahit, sedangkan keterangan dari Pararaton sangat kacau. Yang nyata, bintang Majapahit yang tadinya mempersatukan Nusantara semakin suram dan makin pudar, yang ditandai dengan perang saudara antar keluarga raja, hilangnya kekuasaan pusat di daerah, dan adanya penyebaran agama Islam yang sejak sekitar tahun 1400 berpusat di Malaka disertai timbulnya kerajaan-kerajaan Islam yang menentang kedaulatan Majapahit.

Yang memerintah Majapahit setelah Wikramawardhana adalah anak perempuannya yaitu Suhita (1429-1447), dimana ibunya adalah anak dari Wirabhumi. Masa pemerintahannya ditandai berkuasanya kembali anasir-anasir Indonesia, antara lain didirikannya berbagai tempat pemujaan dengan bangunan-bangunan yang disusun sebagai punden berundak-undak di lereng-lereng gunung ( misalnya Candi Sukuh dan Candi Ceta di lereng gunung Lawu). Selain itu terdapat pula batu-batu untuk persajian, tugu-tugu batu seperti menhir, gambar-gambar binatang ajaib yang memiliki arti sebagai lambang tenaga gaib, dan lain-lain.

Suhita digantikan oleh adik tirinya, Krtawijaya (1447-1451). Kemudian cerita sejarah dan pergantian raja-rajanya setelah 1451 tidak dapat diketahui dengan pasti. dari kitab Pararaton kita kenal raja Raja Suwardhan sebagai pengganti Krtawijaya, tetapi ia berKaraton di Kahuripan dari tahun 1451 sampai 1453. Tiga tahun tanpa raja, lalu dilanjutkan oleh Bre Wengker (1456-1466) bergelar Hyang Purwawisesa. Di tahun 1466 ia digantikan oleh Bhre Pandansalas yang nama aslinya Suraprabhawa dan bernama resmi Singhawikramawardhana, berKaraton di Tumapel selama 2 (dua) tahun. Dalam tahun 1468 ia terdesak oleh Krtabhumi (anak bungsu Rajasawardhana), yang kemudian berkuasa di Majapahit. Sedangkan Singhawikramawardhana memindahkan kekuasaannya ke Daha, dimana ia wafat di tahun 1474.

Di daha ia digantikan anaknya, Ranawijaya yang bergelar Bhatara Prabu Girindrawardhana, yang berhasil menundukkan Krtabhumi dan merebut Majapahit di tahun 1474. Menurut prasastinya di tahun 1486 ia menamakan dirinya raja Wilwatika Daha Janggala Kadiri, namun kapan berakhirnya memerintah tidak diketahui. Demikian tentang riwayat Majapahit semakin gelap, kecuali berita-berita dari Portugis bahwa Majapahit di tahun 1522 masih berdiri dan beberapa tahun kemudian kekuasaannya berpindah ke kerajaan Islam di Demak.

Akan tetapi, masih ada juga kerajaan-kerajaan yang meneruskan corak kehinduan Majapahit misalnya, yaitu Pajajaran yang akhirnya lenyap setelah ditundukkan oleh Sultan Yusuf dari Banten di tahun 1579, juga Balambangan yang di tahun 1639 baru bisa ditundukkan oleh Sultan Agung dari Mataram, disamping masyarakat di pegunungan tengger yang sampai saat ini masih mempertahankan corak Hindunya dengan memuja Brahma, dan Bali yang masih tetap dapat mempertahankan kebudayaan lamanya.

Penerus Majapahit yang tetap di Majapahit (selain Purbawisesa yang beKaraton di Kahuripan) adalah Kertabumi/Brawijaya, yang memerintah di tahun 1453-1478. Tidak diketahui mengenai perjalanan kerajaannya. Namun ia mempunyai salah satu putra yang bernama raden Patah atau Jin Bun, yang diberi kedudukan sebagi Bupati Demak. Hanya saja yang menarik, ia mengundurkan diri dan pindah ke gunung Lawu, lalu masuk agama Islam, dimana pengikut setianya yaitu Sabdapalon dan Noyogenggong sangat menentang kepindahan agamanya. Sehingga, dikenal adanya semacam sumpah dari Sabdopalon dan Noyogenggong, yang salah satunya mengatakan bahwa sekitar 500 tahun kemudian, akan tiba waktunya, hadirnya kembali agama budi, yang kalau ditentang, akan menjadikan tanah Jawa hancur lebur luluh lantak.

Majapahit

Monday, March 09 2009 @ 10:18 AM CDT

Contributed by: Admin

Views: 414

Raden Wijaya yang sedang mengejar tentara Kediri ke utara terpaksa melarikan diri setelah tahu Singhasari jatuh, sedangkan Arddharaja berbalik memihak Kadiri. Dengan bantuan lurah desa Kudadu Raden Wijaya dapat menyeberang ke Madura, guna mencari perlindungan dan bantuan dari Wiraraja di Sungeneb.

Atas saran dan jaminan Wiraraja, Raden Wijaya menghambakan diri ke Jayakatwang di Kadiri, dan ia dianugerahi tanah di desa Tarik, yang atas bantuan orang-orang Madura dibuka dan menjadi desa subur dengan nama Majapahit.

Sementara itu tentara Tiongkok sebanyak 20.000 orang yang diangkut 1.000 kapal berbekal untuk satu tahun telah mendarat di Tuban dan di dekat Surabaya, dengan tujuan membalas penghinaan Krtanegara terhadap Kubilai Khan.

Di sini dimanfaatkan Raden Wijaya yaitu menggabungkan diri dengan tentara Tiongkok menggempur Kadiri, yang akhirnya Jayakatwang menyerah. Tapi saat tentara Tiongkok sampai di pelabuhan untuk kembali, Raden Wijaya menyerang tentara Tiongkok sehingga banyak meninggalkan korban sambil terus kembali ke Tiongkok.

Dengan bantuan pasukan Singhasari yang kembali dari Sumatra, Raden Wijaya menjadi raja pertama kerajaan Majapahit bergelar Krtarajasa Jayawardhana (1293-1309), mempunyai 4 (empat) isteri, dimana yang tertua bernama Tribhuwana/Dara Petak dan yang termuda bernama Gayatri yang disebut juga Rajapatni dan dari padanya lah berlangsungnya raja-raja Majapahit selanjutnya.

Raden Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman, susunan pemerintahan mirip Singhasari, ditambah 2 (dua) menteri yaitu rakryan Rangga dan rakryan Tumenggung. Sedangkan Wiraraja yang banyak membantu diberi kedudukan sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang sampai Blambangan.

Ia wafat di tahun 1309, meninggalkan 2 (dua) anak perempuan dari Gayatri berjuluk Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, serta satu anak laki-laki dari Dara Petak yaitu Kalagemet/Jayanegara yang dalam tahun 1309 naik tahta. Untuk memuliakannya, Raden Wijaya dicandikan di candi Siwa di Simping yaitu Candi Sumberjati di sebelah selatan Blitar dan di candi Buda di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudannya adalah Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam satu arca. Sedangkan Tribhuwana dimuliakan di candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.

Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Krtarajasa. Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak Krtarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan.

Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu yang ketiga dalam tahun 1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan benteng di Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas. Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang raja melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada. Namun dengan bantuan pasukan-pasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya menggempur Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan pemerintahannya.

Jayanegara wafat di tahun 1328 tanpa seorang keturunan. Ia dicandikan di Sila Petak dan Bubat dengan perwujudannya sebagai Wisnu, serta di Sukalila sebagai Amoghasiddhi, dimana candi-candi itu tidak dapat diketahui kembali.

Pengganti selanjutnya yang semestinya Gayatri, namun karena ia telah meninggalkan hidup keduniawian yaitu menjadi bhiksuni, maka anaknya lah yang bernama Bhre Kahuripan yang mewakili ibunnya naik tahta dengan gelar Tribhuwananottunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1360).

Tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan dapat ditumpas.

Gajah Mada dalam menunjukkan pengabdiannya, bersumpah yang disebut Sumpah Palapa (artinya garam dan rempah-rempah) yaitu : bahwa ia tidak akan merasakan palapa, sebelum daerah seluruh nusantara ada di bawah kekuasaan Majapahit. Atau bagi orang Jawa, disebut mutih.

Langkah pertama, Gajah Mada memimpin pasukan menaklukkan Bali di tahun 1343 bersama Adityawarman (putera majapahit keturunan Malayu yang di Majapahit menjabat sebagai Wrddhamantri bergelar arrya dewaraja pu Adutya), yang pernah ditaklukkan Krtanagara tapi telah bebas kembali. Lalu Adityawarman ditempatkan di Malayu sebagai wrddhamantri bergelar Arrya Dewaraja Pu Aditya.

Adityawarman di Sumatra menyusun kembali pemerintahan Mauliwarmmadewa yang kita kenal di tahun 1286. Ia memperluas kekuasaan sampai daerah Pagarruyung (Minangkabau) dan mengangkat dirinya sebagai maharajadhiraja (1347), meskipun terhadap Gayatri ia masih tetap mengaku dirinya sang mantri terkemuka dan masih sedarah dengan raja putri itu.

Tahun 1360 Gayatri wafat, maka Tribhuwanottunggadewi pun turun tahta, dan menyerahkan kepada anaknya yaitu Hayam Wuruk, yang dilahirkan di tahun 1334 atas perkawinannya dengan KErtawardddhana.

>Hayam Wuruk memerintah dengan gelar Rajasanagara (1360-1369), dengan Gajah Mada sebagai patihnya. Seluruh kepulauan Indonesia bahkan juga jazirah Malaka mengibarkan panji-panji Majapahit, hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga berlangsung baik. Sumpah Palapa terlaksana, Majapahit mengalami jaman keemasan.

Alkisah, hanya tinggal Sunda yang diperintah Sri Baduga Maharaja yang menurut prasasti Batutulis (Bogor) dari tahun 1333 adalah raja Pakwan Pajajaran (anak dari Rahyang Dewaniskala dan cucu Rahyang Niskalawastu Kancana) yang belum dapat ditaklukkan Majapahit, walau sudah 2 (dua) kali diserang. Dengan jalan tipu muslihat akhirnya di tahun 1357 Sri Baduga beserta para pembesar Sunda dapat didatangkan ke Majapahit dan dibinasakan secara kejam di lapangan bubat. Karena perang ini sangat menarik, maka secara khusus diceritakan inti kisah Perang Bubat menurut Kidung Sudayana, seperti dibawah ini.

Demak

Monday, March 09 2009 @ 10:16 AM CDT

Contributed by: Admin

Views: 573

Seorang Bupati putra dari Brawijaya yang beragama Islam disekitar tahun 1500 bernama raden Patah/Jin Bun/R. Bintoro dan berkedudukan di Demak, secara terbuka memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas bantuan daerah-daerah lain yang telah Islam (seperti Gresik, Tuban dan Jepara), ia mendirikan kerajaan Islam yang berpusat di Demak. Putra lainnya bernama Bondan Kejawan/Lembupeteng di Tarub mengawini Rr. Nawangsih (anak dari hasil perkawinan antara Joko Tarub dan Rr. Nawangwulan) mempunyai cucu dari anaknya bernama Kyai Ageng Getas/R. Depok di Pandowo, yaitu Kyai Ageng Selo/Bagus Songgom/Risang Sutowijoyo/Syeih Abdurrahman.

Putra lain dari Brawijaya yang bernama Lembupeteng juga berkedudukan di Gilimangdangin/Sampang, mempunyai cucu buyut bernama raden Praseno yang menjadi adipati Sampang, berjuluk Cakraningrat I, yang mana putranya yang bernama pangeran Undakan menggantikannya dan bergelar cakraningrat II, sedang putra yang satunya lagi mempunyai anak yaitu Trunojoyo.

Sedang putri dari Brawijaya yaitu Ratu Pambayun yang kawin dengan Pn. Dayaningrat mempunyai 2 (dua) anak bernama Kebokanigoro dan Kebokenongo/Ki Ageng Pengging yang menjadi teman dekat seorang wali kontraversial yaitu Syeh Siti Jenar.

Ia akhirnya juga mampu meruntuhkan Majapahit dan sebagai raja Islam pertama bergelar Sultan Demak ia mencapai kejayaan, tapi sebagai lambang dari tetap berlangsungnya kerajaan kesatuan Majapahit dalam bentuk baru, semua alat upacara dan pusaka dibawa ke Demak. Ia wafat di tahun 1518 dan digantikan oleh putranya bernama Pati Unus atau pangeran Sabrang Lor bergelar Sultan Demak yang hanya 3 tahun memerintah karena meninggal. Lalu ia digantikan saudaranya yaitu pangeran Trenggono bergelar Sultan Demak yang memerintah sampai tahun 1548. Dalam memerintah Trenggono mampu memperluas kerajaan sampai di daerah Pase Sumatra Utara yang dikuasai Portugis, dimana seorang ulama dari Pase bernama Fatahillah menyeberang ke Demak dan dikawinkan dengan adik raja. Karena Fatahillah, maka Demak berhasil merebut tempat-tempat perdagangan kerajaan Pajajaran di Jawa Barat yang belum Islam, yaitu Cirebon dan Banten (akhirnya diserahkan Fatahillah oleh Demak).

Di tahun 1522 orang Portugis datang ke Sunda Kalapa (Jakarta sekarang) bekerja sama dengan raja Pajajaran menghadapi Islam, dimana Portugis diijinkan mendirikan benteng di Sunda Kalapa itu. Lalu di tahun 1527 orang Portugis datang kembali dimana Sunda Kalapa sudah berubah nama menjadi Jayakarta, dibawah kekuasaan Fatahillah yang tinggal di Banten, sehingga Portugis kalah perang dan meninggalkan daerah tersebut. Sedangkan Trenggono sendiri walau berhasil menalukkan Mataram dan Singhasari, tapi daerah Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali yang tetap Hindu, yang mana di tahun 1548 ia wafat akibat perang dengan Pasuruan.

Kematian Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang. Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul kekacauan dimana-mana. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari adipati japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya menentang Arya Panangsang, yang salah satu dari adipati itu bernama Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono.

Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak. Namun menginformasikan kerajaan Demak, kurang komplit kalau belum menceritakan tentang kedatangan Islam di Jawa dan keberadaan Wali Sanga saat berkuasanya Demak.

Kedatangan Islam ke Jawa

Di Gresik (daerah Leran) ditemukan batu bertahun 1082 Masehi berhuruf Arab yang menceritakan bahwa telah meninggal seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang beragama Islam. Lalu disekitar tahun 1350 saat memuncaknya kebesaran Majapahit, di pelabuhan Tuban dan Gresik banyak kedatangan para pedagang Islam dari India dan dari kerajaan Samudra (Aceh Utara) yang juga awalnya merupakan bagian dari Majapahit, disamping para pedagang Majapahit yang berdagang ke Samudra. Juga menurut cerita, ada seorang putri Islam berjuluk Putri Cempa dan Putri Cina yang menjadi isteri salah satu raja Majapahit.

Sangat toleransinya Majapahit terhadap Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat kerajaan Demak.

Mataram [Islam]

Monday, March 09 2009 @ 10:13 AM CDT

Contributed by: Admin

Views: 448

Penggantinya adalah putranya dari perkawinannya dengan ratu Hadi (putri pangeran Benowo) yang bernama Mas Jolang, berjuluk Panembahan Seda Krapyak dan bergelar Sultan Hanyokrowati (1601-1613), yang banyak menghadapi pemberontakan.

Kegagalannya menaklukkan Surabaya walau di berbagai daerah berhasil, menyebabkan ia wafat di tahun 1613 dan dimakamkan di Kota Gede. Kemudian, anaknya yang menggantikan yaitu adipati Martapura yang sakit-sakitan segera digantikan oleh saudaranya bernama raden Rangsang yang berjuluk Sultan Agung Hanyokrokusuma (1613-1646).

Di bawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan, terhormat dan disegani sampai di luar Jawa. Karaton yang semula di Kerta dipindahkan ke Plered. Musuh bebuyutan Mataram yaitu Surabaya, dapat ditaklukkan. Sukadana-Kalimantan dapat juga ditundukkan. Madura dibuat tidak berdaya dan Sultan mengangkat adipati Sampang menjadi adipati Madura yang bergelar pangeran Cakraningrat I. Akhirnya seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur bernaung di bawah panji-panji Mataram, yang salah satu cara untuk mengikat para adipati adalah dengan mengawinkan putri-putri Mataram dengan mereka. Malah Sultan sendiri mengawini putri Cirebon, yang mengakibatkan Cirebon juga dapat ia kuasai. Namun Cita-citanya mempersatukan Jawa terganjal Kompeni Belanda yang berada di Batavia, sehingga untuk menaklukkan Banten yang tidak mau mengakuinya harus melenyapkan Kompeni terlebih dahulu. Maka disusunlah strategi penyerangan.

Saat Gubernur Jenderal dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen sekaligus wakil V.O.C.(Verrenigde Oost- Indische Compagni), Kompeni di tahun 1928 diserang Mataram walau mengalami kegagalan merobohkan benteng Belanda, akibat perbekalan pasukan yang habis, di samping Banten yang juga musuh Kompeni tapi hanya janji kosong ikut menyerang.

Tanpa putus asa, Sultan menyerang kembali di tahun 1929, dengan mempersiapkan perahu-perahu berisi beras di sekitar perairan Batavia serta membuat gudang-gudang beras di Cirebon dan Krawang. Tapi ia gagal lagi, pasukannya kelaparan dan terjangkit berbagai penyakit akibat kalahnya perahu-perahunya dengan kapal-kapal Belanda serta gudang-gudang beras yang dibakar oleh mata-mata musuh, walau Coen yang kagum terhadap pasukan Mataram wafat saat Batavia dikepung pasukan Mataram.

>Tanpa lelah, Sultan Agung melakukan penyerangan kembali, dengan sebelumnya mengirim penduduk Jawa Tengah dan Sumedang untuk membabat hutan belukar di Krawang menjadi daerah pertanian serta membuat jalan-jalan yang berhubungan dengan Mataram. Selain itu ia juga bersekutu dengan orang-orang Portugis di Malakka dan orang-orang Inggris di Banten, untuk mempersulit pengiriman beras ke Batavia dan pedagang-pedagang yang biasa ke Batavia ia alihkan langsung ke Malakka. Tapi Saat sedang konsentrasi kepada Kompeni, ada pemberontakan dari Sunan Giri yang ingin berkuasa di Jawa Timur, yang akhirnya berhasil ia redam termasuk Blambangan yang dapat ditaklukkan walau tidak lama kemudian bergabung kembali dengan Bali. Sementara itu Belanda semakin kuat dan menguasai laut dengan mengalahkan orang-orang Portugis.

>Saat giat-giatnya Sultan mempersiapkan penyerangan untuk menghapus Belanda, tanpa disangka ia wafat (1646), sehingga menggagalkan cita-citanya dalam membasmi Kompeni. Yang menarik juga, ia dikenal bukan saja sebagai raja besar dan panglima ulung, tapi juga sebagai orang Islam yang ta’at beribadah dan menjadi contoh dalam kerajinannya dalam sholat Jum’at.

Di tahun 1633 ia mengadakan tarikh baru yaitu dari tarikh Saka yang berdasarkan tahun matahari (1 tahun = 365 hari) menjadi tarikh Jawa-Islam yang berdasarkan tahun bulan (1 tahun= 354 hari), sesuai tarikh Islam. Tahun 1633 itu adalah tahun Saka 1555 dan tahun Saka ini menjadi tahun Jawa-Islam 1555 pula. Sedangkan untuk memperkokoh dirinya sebagai pemimpin Islam, ia mengirim utusan ke Mekkah dan yang di tahun 1641 kembali dengan membawa para ahli agama untuk menjadi penasehat Karaton dan memperoleh gelar Sultan ‘Abdul Muhammad Maulana Matarami.

Pengganti Sultan Agung adalah Mangkurat Agung/Mangkurat I (1646-1677) atau juga dikenal sebagai Sunan Seda Tegalarum yang bertahta di Kartasura, dan selanjutnya digantikan oleh Mangkurat Amral/Mangkurat II (1677-1703), kemudian Mangkurat Mas/Mangkurat III (1703-1704), seterusnya pangeran Puger/Sunan Pakoeboewono I (1708-1719), lalu Mangkurat Jawi/Mangkurat IV (1719-1727), yang dilanjutkan oleh Sunan Pakoeboewono II (1727-1745) dan memindahkan karaton ke Surakarta (1745-1749). Namun saat digantikan putranya yaitu Sunan Pakoeboewono III (1749-1788), Mataram yang daerahnya sudah semakin sempit akibat kelihaian Belanda terpecah menjadi 2 (dua), yaitu satunya Surakarta tetap diperintah Sunan Pakoeboewono III, sedangkan Yogyakarta diberikan kepada pamannya sendiri yang bergelar Sultan Hamengkoeboewono I (1755-1792).

Putra dari pangeran Mangkunagara (salah satu putra Mangkurat IV) yaitu raden mas Said atau dikenal dengan julukan pangeran Sambernyawa, walau sangat tangguh melawan Kompeni tapi juga rasa hormat terhadap Pakoeboewono III, akhirnya bersedia bersepakat yang mana raden mas Said diberi kekuasaan serupa raja, tapi dengan beberapa pengecualian.

Ia bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunagoro I dan berkedudukan di pura Mangkunegaran - Surakarta (1757-1795). Ini, merupakan hasil dari perjanjian Gianti. Sedangkan di Yogyakarta pada tahun 1812 beberapa putra Sultan, selain ada yang menggantikan dirinya menjadi Sultan Hamengkoeboewono II (1792-1812), maka salah satu putranya di tahun 1812 yang barangkali untuk sepadan dengan Surakarta diangkat dan dibentuk pura sejenis Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria (KGPAA) Paku Alam I (1812-1828).

Karya Kesusasteraan mengenai riwayat pecahnya kerajaan Mataram dalam tahun 1755 dan 1757 yang berubah menjadi Kasultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, ada pada riwayat /Babad Giyanti karangan Yasadipura, yang betul-betul sebuah sejarah dan sangat menarik dan menceritakan tentang pecahnya Mataram..

Sejak tahun 1945, kerajaan di Surakarta dan di Yogyakarta, mengakui dan melebur menjadi satu dengan Republik Indonesia, sehingga Karaton-Karaton tersebut disepakati hanya sebagai semacam institusi kekerabatan keluarga besar Karaton masing-masing, disamping ditetapkan oleh pemerintah sebagai cagar budaya. Kemudian di tahun 2000 ini pimpinan dari Karaton Surakarta adalah Sunan Pakubuwono XII, pura Mangkunegaran adalah K.G.P.A.A. Mangkunagoro IX, Karaton Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwono X dan pura Pakualaman adalah K.G.P.A.A. Paku Alam IX, dengan segala warisan budayanya yang sangat diharapkan tak akan pernah punah.*

Mataram Lama

Monday, March 09 2009 @ 09:56 AM CDT

Contributed by: Admin

Views: 216

Di desa Canggal (barat daya Magelang) ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 732, berhuruf Pallawa dan digubah dalam bahasa Sanskerta. Isi utama menceritakan tentang peringatan didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya, di sebuah pulau yang mulia bernama Yawadwipa yang kaya raya akan hasil bumi khususnya padi dan emas.

Mendirikan lingga secara khusus adalah mendirikan kerajaan. Tempat tepatnya adalah di gunung Wukir desa Canggal. Disini diketemukan sisa-sisa sebuah candi induk dengan 3 (tiga) candi perwara di depannya. Sayangnya yang masih tersisa sangat sedikit sekali, dimana lingganya sudah tidak ada dan yang ada hanya landasannya yaitu sebuah yoni besar sekali, disamping candinya pun juga sudah tidak berwujud lagi.

Yawadwipa mula-mula diperintah oleh raja Sanna, sangat lama, bijaksana dan berbudi halus. Lalu setelah wafat digantikan oleh Sanjaya, anak Sannaha (saudara perempuan Sanna), raja yang ahli dalam kitab-kitab suci dan keprajuritan, menciptakan ketenteraman dan kemakmuran yang dapat dinikmati rakyatnya.

Dari prasasti-prasasti para raja yang berturut-turut menggantikannya, Sanjaya dianggap sebagai Wamsakarta dari kerajaan Mataram dan diakui betapa besarnya Sanjaya itu bagi mereka sampai abad X.

kerajaan jawa tengah © 2008 Por *Templates para Você*